Si Penyantun

Pada tanggal 28 Januari 2023, narasumber kita Khairatul Husna telah memaparkan materinya dengan judul Si Penyantun. Mungkin banyak dari kita bertanya-tanya, siapakah tokoh yang di maksud oleh kak Una ini? Kenapa diberi judul itu? Nah, untuk menjawab pertanyaan kita semua bagaimana kalau kita langsung saja baca artikel dibawah ini.

Siapakah yang tidak mengenal sosok KH. Ahmad Dahlan, yang merupakan pendiri organisasi islam tersebar di Indonesia yang bernama Muhammadiyah. Beliau juga merupakan seorang ulama dan salah satu tokoh pembaharuan islam di Indonesia.

Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir dengan nama kecil Muhammad Darwis), lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 di kampung Kauman, Yogyakarta. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga KH. Abu Bakar dan ibu Siti Aminah. Ayah KH. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama dan khatib termuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu Siti Aminah adalah putri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.

Beliau termasuk keturunan yang ke-12 (dua belas) dari Maulana Malik Ibrahim, salah satu seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana (Ainul Yaqin), Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kiai Ilyas Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan). Nasab daru Syaikh Maulana Malik Ibrahim bersambung kepada nabi besar, Nabi Muhammad SAW.

Ahmad Dahlan dikenal sebagai sosok yang cerdas. Pada usia 8 tahun ia sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar. Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai belajar agama islam dengan melandaskan pemikiran-pemikiran pembaharuan dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, Muhammad Darwis berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Lalu pada tahun 1903, Ahmad Dahlan pun kembali ke Makkah dan menetap disana selama dua tahun.  Ketika ia kembali ke Makkah untuk kedua kalinya, Ahmad Dahlan pun memiliki kesempatan untuk berguru kepada Syekh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri Nahdlatul Ulama yaitu KH. Hasyim Asyari.

Usai pulang dari Makkah, Ahmad Dahlan pun menikahi Siti Walidah yaitu sepupunya sendiri dan anak dari Kyai Penghulu Haji Fadhil. Dari pernikahannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradi Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah dan Siti Zaharah. KH.

Kemudian pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan pun mendirikan Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan unuk mencapai cita-cita pembaharuan Islam di Bumi Nusantara. KH. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam di Nusantara untuk kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan Hadist. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Ahmad Dahlan dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jami’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Pada tanggal 20 Desember 1912, KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi.

Ahmad Dahlan dikenal sebagai priabadi yang kuat dalam memegang prinsip, tapi tidak fanatik. Apa yang ia lakukan selalu didasarkan pada prinsip yang ia pegang dan yakini kebenarannya. Seorang yang pantang menyerah sebelum berhasil, gemar menimba ilmu dari kiai-kiai Nusantara dan Timur Tengah. Selain itu ia gemar “mencuri ilmu” dari berbagai perkumpulan yang pada masanya itu berkembang, seperti Budi Utomo dan sekolah formal model Barat.

Sementara di masa tua, ia tidak pernah berhenti berdakwah, berjuang mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan juga mengenalkan islam dengan unik sehingga apa yang ia sampaikan kepada masyarakat sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakatnya pada saat itu. Cinta-kasih tanpa pandang bulu sebagai dasar perjuangan KH. Ahmad Dahlan membela kaum tertindas, menginspirasi beberapa elite priyayi Jawa, yaitu dr. Soetomo dan dokkter-dokter Belanda hingga mereka bersedia menjadi penasihat dan pengelola rumah sakit Muhammadiyah di surabaya tanpa gaji.

Teladan kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan yang menjadi ciri khas beliau dalam masa kepemimpinan nya dapat dicontoh, menjadi panutan karena dalam menyampaikan ide-ide keislamannya dengan cerdas. Beliau juga pernah memaksakan diri untuk berceramah dalam keadaan sakit. KH Ahmad Dahlan dikenal sebagai pembimbing dan pengasuh kaum, beliau adalah pemimpin yang tatas, tatag, tutuq (sebutan dari bahasa jawa yaitu sukses, berani, dan sabar). Mengabdi untuk agama dan bangsa, seperti bergerak menyejahterakan orang miskin, tidak membedakan antara muslim dan non-islam dalam bermuamalah.

Semangat dakwah KH. Ahmad Dahlan membuatnya diangkat oleh organisasi Budi Utomo dan Serikat islam sebagai penasihat tentang masalah-masalah keagamaan. Dari sinilah sebenarnya KH. Ahmad Dahlan menyebarkan ide-ide pembaharuan nya.

Berbagai kerja sama telah dilakukan demi meringankan beban masyarakat. Pengajian juga dilakukan untuk membekali masyarakat dengan pemahaman keislaman yang baik. Hingga akhirnya, muncullah ide-ide untuk memberdayakan kaum perempuan, membekali kader dengan ilmu bela diri, membentuk kepanduan untuk pemuda, bahkan pendirian cabang-cabang Muhammadiyah di berbagai daerah.

Istri KH. Ahmad Dahlan  yaitu Siti Walidah juga seorang pahlawan nasional serta pendiri dari Sapa Tresna atau Aisyiyah. Pada tahun 1919, awalnya perkumpulan pengajian kaum wanita diberi nama “Sapa Tresna” (siapa sayang), merupakan perkumpulan pengajian yang dipimpin oleh Nyai Ahmad Dahlan dari waktu ke waktu terus berkembang, dan pada tahun 1920 disepakati perkumpulan pengajian wanita ini merubah Namanya menjadi Organisasi Aisyiyah. Kata Aisyiyah diambil dari nama istri nabi Muhammad SAW, dengan harapan para anggota Aisyiyah khususnya dan para wanita Nusantara umunya dapat menjadi wanita dan istri yang sholehah seperti yang dicontohkan oleh istri nabi Muhammad SAW. Gerakan perempuan pun terus meluas, tidak hanya ibu-ibu, melainkan juga remaja perempuan yang saat ini namanya adalah Nasyiyatul Aisyiyah.

Kesuksesan Muhammadiyah di Nusantara sangat berpengaruh dibidang Pendidikan dan kemasyarakatan Islam. Keberhasilan ini terlihat pada fasilitas yang didirikan seperti pembangunan fasilitas didunia Pendidikan dengan membangun 22.000 TK ABA & PAUB/KB, 5.519 Sekolah/Madrasah maupun Menengah, 71 SLB, 356 Pondok Pesantren Muhammadiyah, 180 Perguruan Tinggi, dan 2 Universitas & Sekolah diluar Negeri. Serta pembangunan di dalam dunia kesehatan yang juga dilakukan seperti 475 Rumah Sakit, 384 Panti Asuhan, 82 Rehabilitasi Cacat, dan 54 Panti Jompo.

Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, kyai haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta.

Sepeninggalan beliau banyak jasa-jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No. 657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961.

 

“Telah Seabad yang lalu sosok pejuang sejati itu tiada. Namun, ia telah membuktikan kepada kita bahwa perjuangan, tak ada kata akhir. Selama hayat masih di kandung badan, wajib bagi kita untuk berjuang”

KH. Ahmad Dahlan